Selasa, 05 Januari 2016

Studi Tentang Residu Pb pada Lokasi Kebun Sayur di Pinggir Jalan

HASIL  PENELITIAN

Studi Tentang Residu Pb pada Lokasi Kebun Sayur
di Pinggir Jalan

Oleh : Vanda Julita Yahya
Jurusan Biologi FMIPA-UNRI, Pekanbaru


Telah dilakukan penelitian terhadap kandungan Pb pada tanah dan cacing pada kebun  sayur dekat dengan jalan raya (lokasi terdedah) 5 m   maupun 1 km dari jalan raya (tidak terdedah).  Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).  Penelitian dilakukan di Pekanbaru pada bulan Desember 2003-Februari 2005.      Hasil penelitian menunjukan bahwa jarak pada lokasi terdedah dan tak terdedah tidak berpengaruh terhadap kandungan Pb dalam tanah, maupun cacing  tanah.  Jarak Pb tanah dan cacing mempunyai hubungan yang kurang signifikan pada tingkat 0.05.  Hasil uji korelasi pada tanah dan cacing terjadi interaksi positif antara kadar Pb dalam tanah dengan kadar Pb pada cacing.  Pada  lokasi terdedah  kadar Pb tanah significant pada tingkat 22.82% dan Pb cacing significant pada tingkat 14.92%.   Pada  lokasi ta terdedah kadar Pb tanah significant pada tingkat 24.31% dan Pb cacing significant pada tingkat 6.37%.

Kata Kunci; Pb, tanah, cacing


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota pekanbaru merupakan salah satu kota di Propinsi Riau dengan pertumbuhan pembangunan dan perekonomian yang cukup pesat dibandingkan dengan kota-kota lain.  Hal tersebut  karena kota Pekanbaru merupakan kota transit di Sumatra serta mempunyai posisi geografis yang sangat strategis karena letaknya berdekatan dengan jalur lalu lintas pelayaran internasional.  Sektor transportasi merupakan salah satu  sektor indikatif yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh.  Perkembangan sektor ini akan secara langsung mencerminkan pertumbuhan pembangunan ekonomi yang sedang berlangsung.  Namun demikian sektor ini dikenal pula sebagai salah satu sektor yang dapat memberikan dampak terhadap lingkungan dalam cakupan spasial dan temporal yang besar. 
Penggunaan bahan bakar minyak secara intensif dalam sektor ini menjadi penyebab utama timbulnya dampak terhadap lingkungan udara, terutama didaerah-daerah perkotaan.  Proses pembakaran bahan bakar minyak akan mengeluarkan unsur  dan senyawa-senyawa pencemar ke udara, seperti padatan total tersuspensi (debu), karbon monoksida, total hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen, oksida-oksida sulfur, partikel timbel dan oksidan fotokimia (Soedomo, 2001).
Di Indonesia penggunaan bahan bakar minyak masih di dominasi oleh penggunaan bensin bertimbel/Pb.  Pb dalam bensin merupakan senyawa Tetra Ethyl Lead (TEL) yang sengaja ditambahkan dalam bahan bakar dengan tujuan untuk menaikan angka oktan dalam bahan bakar.  Angka oktan secara sederhana dapat diartikan sebagai indeks waktu penyalaan bahan bakar bensin.  Makin tinggi angka oktan Mogas (Mobil Gasoline) akan semakin cepat menyala.  Kelambatan waktu penyalaan akan menimbulkan bunyi pada mesin mobil (knocking).  Sehingga penambahan senyawa Pb merupakan bahan aditif dalam bensin yang berfungsi sebagai anti-knocking dimana penggunaannya sudah sejak tahun 1920-an (Widianto, 1994).
Timbel atau Pb adalah neurotoksin, zat racun yang menyerang syaraf dan bersifat akumulatif serta dapat merusak perkembangan otak pada anak-anak.  Hasil studi menunjukan bahwa dampak timbel berbahaya pada anak-anak karena akan menurunkan tingkat kecerdasan (IQ).  Selain itu timbel juga sebagai polutan udara yang mempunyai efek toksik yang luas pada manusia dan hewan karena mengganggu fungsi ginjal, saluran pencernaan, system syaraf serta menurunkan fertilitas (Darmono, 2001).
Penelitian yang dilakukan di kota Bandung, Semarang dan Surabaya terhadap sampel tanah di pinggiran jalan raya menunjukan bahwa pencemaran Pb pada tanah berkisar 105-897 ppm (Prajanti et al, 2000).  Di Manchester diketahui terdapat 1000 ppm Pb pada debu jalanan.  Dari hasil pengamatan di California, vegetasi di tepi jalan memiliki kandungan 50 ppm Pb, tapi setelah 150 meter dari jalan raya kandungan Pb menjadi normal kembali (2 atau 3 ppm).  (Sardiyoko, 2002).  Siccama dan Smith (1978) dalam Connel et al, 1995 menemukan bahwa dalam penampungan air di hutan , Pb tertinggal dengan kuatnya di dalam humus, yang dalam banyak keadaan, secara cepat meningkatkan kandungan Pb.  Di daerah perkotaan kelebihan Pb sebesar 90% yang berasal dari kendaraan bermotor tertinggal di tanah aliran sungai. Logam berat secara kuat akan tertinggal dalam bahan organic tanah serta mempunyai laju daur ulang beberapa ribu tahun (Hughes dkk, 1980 dalam Connel et al, 1995. 

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah;
·         Mengkaji hubungan jarak dengan kandungan Pb yang terdapat pada   tanah dan cacing tanah.pada lokasi terdedah maupun tak terdedah.

Hipotesis

Logam berat Pb dapat terakumulasi pada udara, tanah, dan cacing tanah.  Perbedaan jarak dari sumber pencemar menyebabkan perbedaan tingkat pencemaran pada   tanah dan  cacing tanah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengendalian keamanan pangan dan lingkungan di kota Pekanbaru.  Serta dapat memberi rekomendasi pada pemerintah daerah dalam merancang tata kota agar masyarakat dapat terhindar dari pengaruh pencemaran Pb yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor. 

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini  dilakukan pada bulan Desember 2003 – Februari 2005.
Untuk pengambilan sampel; Sampel tanah dan cacing diambil dari perkebunan sayur di pinggir jalan Arifin Ahmad (sampel) yaitu 5 meter dari badan jalan dapat dilihat pada Gambar 2 dan 1 km dari pinggir jalan Arifin Ahmad (blanko). Penunjang data udara diambil  volume kendaraan bermotor    pada jalan didepan kebun sayur dengan pengambilan data pada 3 waktu (pagi; jam 07.00, siang 12.00 dan sore 18.00).  Analisis logam dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Jurusan Kimia FMIPA-UNRI.

Bahan dan Alat

Bahan

1.        Udara, tanah, dan cacing. Kertas saring (filter debu) untuk kualitas udara.
2.        Standar Pb 1000 mg/L, aquades, asam nitrat GR (p.a.), Asam Sulfat GR (p.a.), H2O2 (hydrogen peroksida) GR (p.a.), aceton, EDTA 3%.

Alat

1.      Alat gelas untuk preparasi sample; Erlenmeyer 100 ml, gelas piala, labu ukur, corong, pipet, mortar, cawan porselen dan labu semprot.
2.      Alat instrument, timbangan analitik, hot plate, desikator, oven, tanur, dan AAS (Atomic Absortion Spectrofotometri). Alat HVAS untuk pengambilan sampel  udara, alat pencatat waktu, kompas, higrometer, barometer dan counter (untuk menghitung jumlah kendaraan).

Metode atau Rancangan

Metode yang dilakukan adalah metode acak komposit untuk tanah dan cacing diambil pada daerah terdedah sebagai sampel dan ta terdedah sebagai  blanko.  Sampel udara dilakukan 3 waktu (pagi, siang, sore) dan 2 ulangan (Maret dan September) pada  daerah terdedah yang diasumsikan berpengaruh terhadap sampel-sampel pada lokasi penelitian.  Sebagai data penunjang untuk kualitas udara dilakukan pengambilan sampel volume kendaraan pada tiga waktu yang berbeda.
Analisis Pb untuk   tanah dan cacing dilakukan dengan menggunakan metoda Jemai, 1999 yang menggunakan alat AAS. 
Rancangan percobaan menggunakan  Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 lokasi dengan 5x ulangan. Model rancangannya adalah sebagai berikut  :

              Yijkl  =  m + Si + e ijkl

Keterangnn :
             Yijkl       =  Respon pengamatan
             m          =  Nilai tengah umum,
             Si         =  Pengaruh perlakuan faktor S taraf ke‑1,
1    = 1,2,3,..,n (Steel dan Torrie, 1995)




Penanganan Sampel.

Udara.
Metoda yang digunakan ekstraksi basah yaitu;
·         Kertas saring yang akan digunakan pada alat pompa penyedot udara dipanaskan dalam oven pada suhu 60oC selama 60 menit kemudian didinginkan dalam desikator, ditimbang dan dilakukan pemanasan hingga didapat bobot tetap. 
·         Letakan alat HVAS pada lokasi tempat pengukuran kandungan debu sesuai jarak dan posisi yang tepat.
·         Letakan kertas saring pada alat  HVAS dan lakukan pengambilan sample selama 1 jam dengan kecepatan alir udara yang disedot 70 m3/jam.
·         Ambil kertas saring dari alat HVAS dan keringkan dalam oven, kemudian dinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
·         Destruksi kertas saring dengan campuran asam nitrat dan sulfat.
·         Selama proses destruksi tambahkan sedikit-sedikit hydrogen peroksida sampai kertas saring larut dan jernih.
·         Hasil destruksi encerkan dalam labu ukur 100 ml dengan aquabides.
·         Deteksi dengan menggunakan alat AAS.

Tanah.
Metoda yang digunakan ekstraksi basah yaitu;
·         Destruksi tanah dengan campuran asam nitrat dan sulfat.
·         Masukan dalam oven pada suhu 60oC hingga kering kemudian masukan dalam tanur hingga menjadi abu putih. 
·         Destruksi dengan asam nitrat dan sulfat pekat, kemudian masukan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan aquabides. 
·         Kemudian deteksi dengan AAS.  Hasil destruksi encerkan dalam labu ukur 100 ml dengan aquabides.
·         Deteksi dengan menggunakan alat AAS.
Cacing.
Metoda yang digunakan ekstraksi kering yaitu;
·         Cacing ditimbang kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 5 jam,
·         Masukan dalam tanur hingga menjadi abu putih. 
·         Destruksi dengan asam nitrat dan sulfat pekat, kemudian masukan dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan aquabides. 
·         Kemudian deteksi dengan AAS.
·         Tentukan konsentrasi larutan Pb berdasarkan larutan standarnya dengan menggunakan kurva kalibrasi atau persamaan regresinya (Y mg/L).





Perhitungan :

      Pb  = Y x V x Fp

                  BS

            Y = konsentrasi Pb dalam pengukuran AAS
            V = volume labu pengencer
            Fp = factor pengenceran
            BS = berat sample.

Kondisi AAS :
Wavelength                       : Pb 217.0 nm.
Lamp current Low (mA)   : 10.0
Lamp current High (mA)  : 0
Slit width                          : 1.0
Background correction     :  BCOn


Pengukuran Volume Kendaraan
Pengukuran volume kendaraan menggunakan metoda manual, yaitu dengan menghitung jumlah kendaraan yang lalu lalang baik roda dua maupun roda empat dengan menggunakan alat Bantu counter.

Pengukuran Cuaca

Pengukuran kelembapan dengan alat higrometer, suhu dengan barometer, dan arah angin dengan kompas .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maka akan tinggi pula mobilitas mereka yang beraktifitas sehari-hari.  Hal tersebut sudah terlihat dengan perkembangan yang relatif cepat jumlah kendaraan bermotor di kota Pekanbaru selama 5 tahun terakhir ini (Tabel 1).  dalam Tabel 1. pengklasifikasian kendaraan bermotor terbagi empat yaitu; (1) mobil penumpang meliputi; sedan, jeep, minibus;  (2) mobil beban meliputi; truck barang, container, trailer, Derek, tangki BBM/air, pemadam api, tracktor, pick up, ambulance, mobil jenasah; (3) mobil bus meliputi; bus biasa, station wagon; (4) sepeda motor meliputi; scuter dan speda motor 50 cc keatas (Samsat, 2005).
Tabel 1.   Perkembangan Jumlah Kendaraan Pribadi dan Angkutan Kota di kota Pekanbaru
No
Jenis Angkutan
Tahun/Jumlah
2000
2001
2002
2003
2004
1.
Mobil Penumpang
15.982
17.586
31.442
34.407
37.890
2..
Mobil beban
23.625
25.897
28.264
44.397
46.352
3.
Mobil bus
14.670
17.447
7.117
7.183
7.253
4.
Sepeda Motor
119.597
133.647
154.621
179.636
208.617
Jumlah
173.874
194.577
221.444
265.623
300.112
Sumber data: POLRI daerah Riau Direktorat Lalu Lintas (2005).
Menurut Umar (2003), faktor yang mempengaruhi besarnya polutan yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor antara lain;
a.       Kendaraan bermotor itu sendiri,
b.      Kemacetan lalu lintas sehinggapada daerah tertentu terjadi akumulasi polutan yang tinggi,
c.       Pengemudi yang tidak mengemudikan kendaraan dengan benar dan baik serta perawatan dari mesin kendaraan itu sendiri,
d.      Kondisi lingkungan geografis yang relatif tertutup, sehingga menyulitkan pergerakan bebas udara yang tercemar.  Seperti halnya di DKI Jakarta karena lingkungan penuh dengan bangunan gedung-gedung bertingkat yang menyulitkan sirkulasi udara.

Menurut Soedomo (2001), pola penyebaran dan difusi pencemar udara Pb dari kendaraan bermotor pada suatu daerah juga sangat ditentukan oleh data meteorology yaitu;
a.       Pola arah dan kecepatan angin dalam bentuk bunga angin,
b.      Radiasi sinar matahari dan lama waktu penyinarannya,
c.       Kelembapan udara dalam persentase humiditas,
d.      Curah hujan dan jumlah hari hujan,
e.       Profil temperatur vertical yang bekerja,
f.       Penutupan awan.
Pada penelitian ini data meteorologi diambil dari Departemen Perhubungan,  Badan Meteorologi dan geofisika Pekanbaru (Tabel 2).

Tabel  2.  Data-data Klimatologi Kota di kota Pekanbaru
  Januari-September 2004
Bulan
 Temperatur*
Curah hjn (mm) **
Penyinaran Mthr***
Tek Udara (mb)
Kelem-
bapan
nisbi (%)
Angin
Rata2
Max
Min
(1)
(2)
(3)
1
28
31.9
23.3
16/18 hari
42
1011.5
82
5
NE
8
2
27.4
32.5
23.3
13.4/17 hari
39.9
1025.3
80
5
NE
7
3
27.6
32.9
23.3
11.4/18 hari
71.1
1010.4
81
6
NW
9
4
27.9
32.9
23.4
20.4/20hari
71.6
1010.3
82
5
NW
8
5
29.3
35.1
24.1
13.8/12 hari
73
1043.3
81
5
S
8
6
28.1
32.6
23
12.5/12 hari
59
1021.4
76
6
S
10
7
27.7
33.5
23.2
15.3/hari
62
1044.4
84
6
S
10
8
28.8
33.1
23.1
11.3/6 hari
-
1011.6
75
6
S
10
9
27.2
32.6
23.1
12/20 hari
44
1011.6
81
6
S
9
Sumber Data: Departemen Perhubungan,  Badan Meteorologi dan geofisika Pekanbaru

Keterangan  :  * Temperatur diukur pada jam 07.00, 13.00 dan 18.00; **
diukur jam 07.00;  *** diukur 08.00-16.00
                               (1), Kecepatan rata-rata; (2), Arah terbanyak; (3)Kecepatan terbesar

Kandungan Pb tanah pada lokasi terdedah kendaraan bermotor (A)  serta 1 km dari sumber pencemar (B) dapat dilihat pada Gambar 1. dibawah ini.
Gambar 1. Kebun sayur A dengan jarak 5 m dari sumber pencemar.
Gambar 2. Pb Tanah Berdasarkan Jarak dari Sumber Pencemar

Konsentrasi Pb tanah berdasarkan Gambar 2. diatas menunjukan bahwa terjadi fluktuasi kadar pada lokasi A maupun B sehingga dapat disimpulkan bahwa jarak tidak berpengaruh terhadap kadar.  Pada lokasi A kemungkinan Pb yang terdapat pada tanah dapat berasal dari Pb yang dikeluarkan dari asap kendaraan bermotor atau dari tanah itu sendiri, karena hasil penelitian pada tanah petani sayur di Australia (Oliver dan Naidu, 2000) menyatakan bahwa kontaminasi logam pada tanah dapat berasal dari;  1) industry slag seperti tanah untuk tempat tinggal, 2)  sedimen atau bebatuan dalam tanah 3)  Pb dari kendaraan bermotor yang terdapat dalam bensin, 4) tempat tinggal yg digunakan untuk pertanian (kontaminasi DDT dan pestisida lain yang mengandung Pb merupakan atau tanah yang berada pada area industri).
Penelitian yang dilakukan oleh Van Hook  dkk pada tahun 1977 serta Siccama dan Smith pada tahun 1978 menemukan bahwa penampungan air di hutan, Pb tertinggal dan terikat kuat dalam humus, yang dalam banyak keadaan secara cepat akan meningkatkan kandungan Pb.  Di daerah perkotaan kelebihan Pb sebesar 90% yang berasal dari kendaraan bermotor tertinggal di tanah dan aliran sungai (Bogges dan Wixson, 1977 dalam Conell et al, 1995).  Menurut Hughes dkk, 1980 dalam Conell et al, 1995, Pb secara kuat tertinggal dalam bahan organic tanah serta mempunyai laju daur ulang beberapa ribu tahun.
Hasil penelitian di India menunjukan bahwa kontribusi tertinggi Pb dalam tanah disebabkan oleh battery dan cat yang digunakan untuk rumah tangga. Penelitian mereka membandingkan kandungan Pb tanah yang berasal dari asap bensin kendaraan bermotor, baterai dan cat dinding rumah tangga.  Pada lokasi padat kendaraan kandungan Pb tanah 463-8973 ppm, tanah yang diambil berjarak 25 m dari jalanan.  Pada jarak 37 m kandungan Pb meningkat menjadi 1640 ppm. 4 m didepan took pinggiran jalan kandungan Pb tanah sebesar 6233 ppm. Pada penelitian mereka disimpulkan bahwa tingginya kandungan Pb bukan dipengaruhi oleh jarak dari lokasi padat kendaraan, yang sangat berpengaruh adalah baterai yang dibuang ke dalam tanah dan cat-cat dinding perkantoran (Clark et al, 2005). 
Keberadaan Pb dalam tanah juga dipengaruhi oleh jenis, unsur organik  dan pH tanah.  Kondisi tanah kebun A lebih berpasir daripada kebun B, sehingga kebun A lebih banyak menggunakan air untuk mengelola kebunnya dan bila musim kering mereka tidak membuka semua lahan untuk ditanami sayur.  Kondisi kebun B tanahnya berpasir sedikit tekstur tanah terlihat lebih kompak data analisa jenis tanah, kandungan organic dan pH tanah pada kedua kebun dapat dilihat pada Tabel 3.

 Tabel 3.  Analisa Tanah Kebun Sayuran

                         di Lokasi Terdedah dan Tidak Terdedah

Kode
pH (H2O/KCl)
Organik (C, N)
C/N
Jenis tanah
TA
5.83/5.46
1.92, 0.51
3.76
Berpasir/porous
TB
4.68/4.45
7.30, 0.62
11.77
Liat/lengket
    Keterangan; TA; Tanah A, terdedah kendaraan bermotor
TB; Tanah B, ta terdedah kendaraan bermotor

Hasil penelitian menunjukan bahwa pH tanah untuk lokasi A lebih tinggi dari lokasi B. Bila pH rendah maka unsur Pb akan tinggi, pH merupakan faktor penting dalam phytoavaibility dari kontaminasi logam seperti Cd, Pb Cu.  Penelitian yang dilakukan Oliver dan Naidu, (2000) menunjukan bahwa pH tanah   5 atau lebih rendah akan menyebakan Pb terikat kuat dalam struktur tanah terutama  untuk tanah-tanah tipe lempung.  Tipe tanah lokasi B merupakan tipe lempung berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di laboratorium tanah Fakultas Pertanian UNRI. pH tanah sangat penting sebagai pengontrol hanya untuk species polar yaitu pada tanah lempung/clay.  Pada kondisi lingkungan dibawah normal Pb tidak bebas bergerak karena Pb tertinggi akan didapatkan pada kedalaman tanah 2-5 cm.  Bila Pada kondisi seperti ini pencucian tidak berpengaruh terhadap ikatan Pb dengan struktur tanah.  Bila dilihat dari data pH, pada tanah lokasi B mempunyai pH lebih rendah dari lokasi A.  penurunan pH akan menghilangkan unsure kation dari logam karena proses pelarutan.  Presipitasi asam dalam pelarutan tanah erat hubungannya dengan mobilisasi deposit anion dalam tanah, juga dalam sisitim pertukaran kation antara tanah dan tanaman.  Pada waktu terjadi kelebihan air, rembesan kation dari tanah ini akan diserap oleh tanaman.  Pada saat unsure  logam melarut dalam tanah yang lebih dalam, akan terjadi akumulasi Pb terutama pada pH dibawah 5, pada tanah yang asam  Pb berada dalam bentuk asam kompleks (Darmono, 1995).
Selain struktur dan pH tanah pencemaran tanah berhubungan erat dengan persentase pengaruh penyerapan ligand dan unsur organik dalam tanah. Pada penelitian ini (Tabel 3.) kandungan karbon (C) pada lokasi A sebesar 1.92 % dan Nitrogen (N) 0.51%, sedangkan pada lokasi B kandungan karbon sebesar 7.30% dan Nitrogen 0.62%, bila dilihat dari ratio C/N untuk lokasi A sebesar 3.76 dan lokasi B sebesar 11.77. Dari ratio C/N terlihat bahwa lokasi B memiliki ratio C/N lebih tinggi dari lokasi A.  Tumbuhan menyerap logam berat dari dalam tanah bersama dengan unsur hara.  Ion Pb mempunyai afinitas yang besar terhadap gugus-SH dan CH3, suatu senyawa organik, bahkan terhadap –N dan –O (Kumar, 1987) sehingga dapat mempengaruhi sifat dan aktivitas makromolekul.  Dari hasil penelitian menunjukan bahwa unsur  organik kebun B lebih besar daripada kebun A berarti tingginya kandungan Pb pada lokasi B dipengaruhi oleh tingginya kandungan organik yang berada dalam tanah tersebut.  Hasil data survey menunjukan bahwa penanaman sayuran menggunakan pupuk kandang yang dikombinasikan dengan pupuk organik (TSP dan Urea). 
Tingginya unsur    hara dalam tanah sangat menentukan populasi cacing tanah.  Cacing tanah merupakan salah satu hewan yang ikut berperan dalam proses penguraian sisa-sisa tanaman agar mudah diserap oleh tanaman.  Dalam proses dekomposisi tersebut   bagian yang tidak terserap dari sisa tanaman dikeluarkan berupa material yang lumat (Suin, 1997).  Hasil penelitian menunjukan bahwa kadar Pb dalam cacing tanah pada lokasi terdedah lebih tinggi daripada tak terdedah (Tabel 4).  Kadar Pb pada cacing  pada Gambar 3 menunjukan bahwa jarak tidak berpengaruh dengan kadar Pb pada cacing tersebut.  Persamaan linier untuk lokasi terdedah adalah y= 0.1263x + 0.0604 dan R2= 0.1492 sedangkan persamaan linier untuk lokasi tak terdedah adalah y= 0.0345x + 0.1596 dan R2= 0.0637
 Gambar 3. Kadar Pb Cacing pada Lokasi Terdedah dan tak Terdedah

Tabel 4 Analisa Cacing dan Tanah (ppm) di Kebun Sayuran

                             Pada Lokasi Terdedah dan Tak Terdedah

No.
Jarak
CT
CTT
1
0
0.05
0.15
2
5
0.03
0.23
3
10
0.99
0.19
4
15
0.04
0.24
5
20
0.34
0.13
6
25
2.06
1.06
7
30
1.52
0.52
8
35
0
0
 Keterangan; CT ; Cacing , terdedah kendaraan bermotor
CTT; Cacing, ta terdedah kendaraan bermotor


 Hasil uji korelasi  yang dapat dilihat pada Gambar 3.  didapatkan  nilai R2 sebesar 0.1492 pada lokasi terdedah dari data tersebut  menunjukan bahwa pada kadar Pb  significant  pada tingkat 14.92% dari data tersebut menunjukan bahwa jarak tidak berpengaruh terhadap kadar Pb pada Cacing.  Terjadinya peningkatan Pb pada jarak 10 meter dari lokasi 25 meter menunjukan bahwa kecepatan angin berpengaruh terhadap keberadaan logam Pb yang berasal dari kendaraan bermotor akibat emisi yang dikeluarkan dari bahan bakar kendaraan bermotor tersebut.  Terdapatnya dua puncak tertinggi pada lokasi terdedah menunjukan bahwa banyaknya kendaraan bermotor yang meliwati daerah tersebut memungkinkan partikel Pb bertahan di udara kemudian diterbangkan kembali dengan datangnya kendaraan mobil berikutnya.  Pada lokasi tidak terdedah nilai R2 sebesar 0.0637 data tersebut  menunjukan bahwa  kadar Pb  significant pada tingkat 6.37%.  Peningkatan Pb terlihat pada jarak 25 meter dari pangkal kebun.  Pada lokasi tidak terdedah hanya ditemukan satu puncak, bila dibandingkan dengan lokasi terdedah menunjukan bahwa angin yang disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang berlalu lalang berpengaruh terhadap jatuhnya partikulat  Pb pada permukaan tanah.
Gambar 4. Kadar Pb Tanah dan Cacing pada Lokasi Terdedah 

Hasil uji korelasi  yang dapat dilihat pada Gambar 4. menunjukan bahwa ada interaksi antara kadar Pb dalam tanah dengan kadar Pb dalam cacing.  Pola interaksi dengan  nilai R2 sebesar 0.2431 menunjukan bahwa ada interaksi antara tanah dan cacing untuk lokasi terdedah dengan persamaan linier untuk lokasi terdedah adalah y= 0.0083x + 0.119 dan R2= 0.2431  dari persamaan tersebut menunjukan bahwa interaksi pada lokasi terdedah   significant   pada  24.31%.  Lokasi tak terdedah    (Gambar 5) persamaan linier   y= 0.0081x + 0.1192 dan R2= 0.2282 didapatkan  nilai R2 sebesar 0.2282 pada lokasi tidak terdedah   menunjuukan bahwa kandungan Pb dalam tanah significant terhadap cacing sebesar 22.82%. 
Gambar 5. Kadar Pb Tanah dan Cacing pada Lokasi Tak Terdedah 
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa;
1.      Jarak pada lokasi terdedah dan tidak terdedah tidak berpengaruh terhadap kandungan Pb dalam tanah, maupun cacing  tanah. 
2.      Jarak Pb tanah dan cacing mempunyai hubungan yang kurang signifikan pada tingkat 0.05. 
3.      Terjadi interaksi positif antara kadar Pb dalam tanah dengan kadar Pb pada cacing.
4.      Pada  lokasi terdedah  kadar Pb tanah significant pada tingkat 22.82% dan Pb cacing significant pada tingkat 14.92%.  
5.      Pada  lokasi ta terdedah kadar Pb tanah significant pada tingkat 24.31% dan Pb cacing significant pada tingkat 6.37%.

TINJAUAN PUSTAKA

C.S.Clark, V.Thuppil, R. Clark, S. Sinha, G. Menezes, H.D.Souza, N.Nayak, A. Kuruvilla, T.Law, P.Dave and S.Shak. Lead in Paint and Soil in Karnataka and Gujarat, India. Journal of Occupational and Environmental Hygiene, 2:38-44, January 2005.
Connel Des W., Gregory J. Miller.  (1995).  Penerjemah; Yanti Koestoer dan Sahati) Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Danielle Oliver and Ravi Naidu, 2000. Uptake of Copper (Cu), Lead (Pb), Cadmium (Cd), Arsenic (As) and Dichlorodiphenylchloroethane (DDT) by Vegetable Grown in Urband Environtments. Proceeding of the Fifth National Workshop on the Assessment of Site Contamination.
Darmono, 2001.  Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia.(UI-Press) Jakarta.
Prajanti Arum,  Asiah, Susy Lahtiany, Dewi Retnaningsih, Ch Netty Widianti, Darmaerius, (2000).  Pengkajian Timah Hitam (Pb) di Beberapa Kota Padat Lalu Lintas di Indonesia. http//geogle.com
Sardiyoko, (2002).  Problem perkotaan 10 tahun Kedepan. Koran Surya. http//geogle.com.
Soedomo Moestikahadi,  2001. Pencemaran Udara. Penerbit ITB. Bandung.
Steel Robert G.D. dan James H.Torrie.  Prinsip dan Prosedur Statistika, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Umar Genius, (2003).  Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemacetan Lalu Lintas di KI Jakarta.  Makalah Falsafah Sains.  Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.

Widianto Wahyo (1994), Mengapa Timah Hitam Digunakan ? http//geogle.com